Header Ads

Pemerintah Nilai UU Penodaan Agama Masih Diperlukan, Ini Alasannya


Ceme - Koordinator pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Mia Amiyati, menyampaikan bahwa Undang-Undang Penodaan Agama masih diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi umat beragama.

Hal ini disampaikan Mia dalam sidang uji materi terkait penodaan agama yang digelar di Mahkmah Konstitusi, Jakarta, Selasa (26/9/2017). Dia memberikan keterangan mewakili pihak Pemerintah selaku pembuat undang-undang.

"Sebagaimana disampaikan Mahkamah pada Putusan Nomor 34/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013, pertimbangan Mahkamah pada pokoknya, Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama masih diperlukan walaupun rumusannya belum dapat dikatakan sempurna," kata Mia.

"Karena apabila UU Pencegahan Penodaan Agama dicabut sebelum ada peraturan baru lainnya, dikhawatirkan timbul penyalahgunaan dan penodaan agama yang dapat menimbulkan konflik," ucap dia.

Selain itu, lanjut Mia, dalam putusan lainnya, yakni dalam Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009, Mahkamah pernah berpendapat bahwa UU Penodaan Agama masih diperlukan dan sama sekali tidak bertentangan dengan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Berkaitan dengan putusan tersebut, Mia mengatakan, Mahkamah sependapat dengan keterangan ahli, yakni mantan Ketua Umum PBNU (almarhum) Hasyim Muzadi.

Saat itu Hasyim menyatakan bahwa UU Pencegahan Penodaan agama bukanlah undang-undang tentang kebebasan beragama yang dapat diartikan sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Akan tetapi, UU Penodaan Agama mengatur perihal larangan penodaan terhadap agama.

Kemudian, UU Pencegahan Penodaan Agama dinilai lebih memberi wadah atau bersifat antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya tindakan aksi anarkistis yang timbul apabila ada penganut suatu agama merasa agama yang diyakininya telah dinodai.


"Dengan adanya UU Pencegahan Penodaan Agama, maka masalah dapat diselesaikan melalui hukum yang sudah ada (yakni UU Pencegahan Penodaan Agama)," kata Mia.

Oleh karena itu, lanjut Mia, jika melihat kembali Pasal 1 UU Penodaan Agama maka substansinya bukanlah bertujuan mengekang kebebasan beragama. Akan tetapi, justru memberikan rambu-rambu tentang pencegahan atau penodaan agama.

"Penodaan agama merupakan bentuk kejahatan yang dilarang oleh banyak negara," kata dia.

Sebelumnya, sembilan anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia dari berbagai daerah mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Kuasa hukum para Pemohon, yakni Fitria Sumarni mengatakan, ketentuan berlakunya Pasal 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 1 PNPS (Penetapan Presiden) tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (P3A/Penodaan Agama) telah merugikan hak konstitusional kliennya. 

Mereka berpandangan, pasal-pasal tersebut bisa ditafsirkan sangat luas. 
Selanjutnya, pasal tersebut menjadi dasar dari pembuatan Surat Keputusan Bersama terkait dengan keberadaan Jamaah Ahmadiyah (SKB Ahmadiyah) dan SKB tersebut menjadi rujukan bagi pemerintah daerah menetapkan aturan.

"Ketidakjelasan norma dalam pasal  tersebut yang kemudian dituangkan menjadi SKB dan ditafsirkan oleh Peraturan Daerah menjadikan kerugian yang dialami para pemohon sangat spesifik dan konkret," kata Fitria, dalam sidang uji materi di MK, Jakarta Pusat, Senin (11/9/2017).

Tidak ada komentar